Teng … teng …
Waktu istirahat telah habis. Puluhan murid berhamburan dari
kantin untuk kembali ke kelas mereka, ada juga yang dari masjid setelah
melaksanakan ibadah sunnah sholat dhuha. Empat sekawan; Alisia, Ashley, Danial,
dan Dakota keluar dari masjid dengan lesu. Alisia dan Ashley pergi menuju loker
untuk menyimpan mukena mereka, diikuti Danial dan Dakota.
“Setelah ini PKn, membosankan!” gerutu Ashley sambil
mengeluarkan kunci loker dari sakunya lalu membuka loker.
“Pelajarannya sudah membosankan, tambah lagi gurunya gak
pernah senyum. Dari dulu cuma bahas buku paket lalu kerjain lima puluh soal,
gak pernah berubah!” tambah Alisia sambil melemparkan mukena ke dalam loker
dengan malas.
“Tapi dia baik, lho! Nilai ulanganku cuma 86 tapi di
raportku bisa jadi 92,” kekeh Dakota.
“Mungkin dia jatuh cinta padamu,” jawab Ashley dengan sinis,
ia mengunci loker sambil memutar bola matanya.
“Bukan urusanku! Yang penting nilai raportku bagus, itu
saja,” Dakota membuang muka. Danial hanya diam, tapi dari ekspresinya tentu
saja dia setuju dengan ketiga sohibnya.
“Aku mau jajan dulu aja!” Alisia berjalan menuju kantin,
ketiga sobatnya mengikuti.
Selesai jajan, mereka bertiga menuju ke kelas. Bu Guru belum
datang, teman-teman mereka asyik bermain kartu UNO.
“Assalamu’alaikum …,” sapa seorang laki-laki muda yang
tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu. Semua anak berhambur menuju meja
masing-masing. Ria segera membersihkan kartu UNO-nya dan menyembunyikannya di
laci. Danial dan Dakota sibuk membenahi tali sepatu mereka yang diikatkan oleh
Alisia dan Ashley sebagai pembalasan keusilan mereka selama ini.
“Wa’alaikumussalam …,” jawab anak-anak sama sekali tak
serentak.
“Perkenalkan, nama saya Fauzi Abu Bakar, kalian bisa panggil
saya Pak Fauzi. Saya akan menjadi guru PKn kalian mulai dari sekarang. Sebelum
kita memulai pelajaran, coba kalian perkenalkan diri kalian satu persatu,” kata
Pak Fauzi. Murid-murid saling berpandangan, tidak ada satupun yang mau pertama
memperkenalkan diri.
“Mulai dari yang paling depan saja,” sambung Pak Fauzi
sambil tersenyum dan menunjuk meja Lutfi. Luthfi menggaruk-garuk kepalanya dan
berdiri dengan sangat lambat.
“Nama saya Luthfi Raditya Haryadi, biasa dipanggil Luthfi,”
kata Luthfi. Semua anak-anak bergiliran memperkenalkan diri satu-persatu.
“Baiklah, karena sudah perkenalan, mari kita mulai
pelajaran. Hmm, sampai bab berapa pelajarannya, mbak mas?” tanya Pak Fauzi.
Semua murid berpandangan.
“Enggak tahu, Pak. Gurunya aja ngajar gak jelas,” celetuk
Dakota sambil menguap lebar. “Loncat sana loncat sini, sama sekali nggak kayak
katak.”
“Baiklah, karena kalian tampaknya tidak semangat, saya akan
cerita,” Pak Fauzi memutuskan sambil tersenyum. Semua anak meletakkan wajah
mereka di meja. Bu Guru PKn yang dulu bila sudah memutuskan untuk ‘bercerita’,
maka itu adalah bencana bagi anak-anak karena anak-anak yang ngantuk disuruh
menebak kelanjutan ceritanya yang sama sekali unpredictable dan gak
seru.
“Kisah ini kisah nyata yang dialami oleh saudara sepupu
saya, namanya Kak Nayyif. Dia seorang sangat cerdas di sekolahnya, terutama
dalam pelajaran math dan science.
Setelah lulus SMA, ia dibiayai oleh pemerintah untuk sekolah di luar negeri
dengan ikatan dinas. Iapun berangkat ke sebuah universitas di Washington dan
bersekolah di sana. Di sana ia sakit, lalu ia periksa kepada seorang dokter dan
ia positif mengidap suatu penyakit kanker dan diprediksi hidupnya tidak akan
lama lagi. Lalu pada suatu hari, ia didatangi oleh tim dari Netherland dan
ditawari untuk diobatkan tapi harus bersekolah di Amsterdam lalu bekerja untuk
pemerintah Netherland. Kak Nayyif pun menolak karena ia ingat bahwa ia bisa
pergi dan sekolah di sini karena dibiayai oleh pemerintah Indonesia. Lalu Kak
Nayyif berdo’a bahwa ia ingin sekali melajutkan sekolahnya lalu bisa pulang
kembali dan membangun negaranya, Indonesia, maka jika Allah meridhai niatnya
itu, ia minta disembuhkan. Kemudian datanglah seorang dokter muslim dari sebuah
rumah sakit besar di USA dan menawari Kak Nayyif pengobatan gratis. Kak Nayyif
menerima tawaran tersebut. Kak Nayyif pun diobati oleh para ahli kesehatan dari
rumah sakit besar tersebut dan pada akhirnya ia berhasil sembuh. Setelah
sembuh, Kak Nayyif mulai menempuh sekolah S3-nya. Saat hendak lulus, ia
didatangi oleh FBI untuk menjadi salah satu bagian dari mereka, tapi dengan
demikian ia harus meninggalkan semua hidupnya dan hidup menjadi orang lain
dengan identitas dan alamat lain, ia juga harus meninggalkan keluarganya dan
seluruh kehidupannya di Indonesia. Kak Nayyif pun menolak dengan tawaran itu
karena ia sangat ingin kembali pulang dan membangun negaranya,” cerita Pak
Fauzi panjang lebar. Beliau memandang murid-muridnya sambil tersenyum.
“Nah, dari sini banyak pelajaran yang dapat kita ambil,”
sambung Pak Fauzi. “Untuk dapat membangun negara, rasa nasionalisme adalah hal
yang utama dan hal yang sangat diperlukan oleh seseorang. Tapi nasionalisme
tidak dapat berdiri sendiri. Seseorang yang memiliki rasa nasionalisme kuat
tapi tidak diimbangi dengan iman yang kuat pula, maka akan memunculkan paham
bernama fasisme, yaitu merasa bangsanya yang paling unggul. Saya akui,
pelajaran PKn sangatlah membosankan, mengantukkan, dan menyebalkan. Saya tidak
menuntut kalian semua untuk cinta pelajaran yang membosankan ini, yang saya
inginkan adalah kalian semua cinta terhadap Indonesia.”